Pahlawan Kesialan

Waktu SMP, aku memiliki dua sahabat yang luar biasa, tak ada orang yang seperti mereka. Kami bukan sekedar teman, kami adalah tiga sekawan yang penuh kegilaan yang tak pernah berhenti menciptakan momen-momen konyol untuk ditertawakan. Dalam petualangan kami, terjadi salah satu insiden yang pantas diabadikan sebagai kisah terburuk terbaik.



Kisah ini berawal di dalam ruang lab komputer. Tempat yang biasanya dipenuhi ketenangan, dimana keheningan teratur melingkupi setiap sudut. Namun, pada satu hari yang tak terduga, suasana itu terguncang oleh tindakan seorang pemberani tak terkendali diantara kami.

Dalam momen spontanitasnya, ia memutuskan untuk menghadirkan kekonyolan yang sama sekali berbeda dari biasanya, mengubah lab yang biasanya sunyi menjadi panggung yang tak terlupakan. Dengan gerakan berani, hari itu, ia memasuki wilayah yang tidak terjamah. Menggebrak keyboard dengan gerakan yang luar biasa, menciptakan sebuah seni kata-kata kotor di layar monitor.

Tak kalah gila, sahabatku yang satu lagi, yang selalu menjadi mitra dalam segala kegilaan kami, juga ikut serta dalam permainan ini. Dia menambahkan sentuhan komik dengan ketuk-ketiknya yang cepat. Sementara aku, yang hanya duduk disisi kiri mereka, terpana, tidak terpikikan apa yang harus kulakukan selain tertawa bersama. Aku hanya bisa menikmati pertunjukan mereka yang mengetik dengan semakin berani. 

Sampai saat kami hampir kehilangan kendali tertawa, tiba-tiba saja monitor Hang! Layar membeku, pesan error yang dramatis muncul di layar seketika. 




Sementara itu...

"Komtl Mmej Ribut!"

...kata-kata kotor yang belum sempat kami hapus terpampang nyata di monitor, tepat disamping pesan error yang sama sekali tidak bisa diakali. 


Tatapan ketidakpercayaan saling bertukar antara kami, seolah-olah kami adalah protagonis dalam drama komedi yang terlalu konyol untuk menjadi kenyataan. Momen ketika kami menyadari betapa seriusnya situasi ini, kami dengan cepat mengendalikan tawa yang melanda. Dengan tatapan serius, kami bahu membahu memperbaiki dan memulihkan keadaan. Namun apa daya, kami masih bocah alakadarnya yang tidak mengerti kerusakan semacam itu.

Tidak lama kemudian, seperti pahlawan tak dikenal yang muncul dari bayangan, datanglah Pak Rusdy, Sang Guru Teknologi kami yang memiliki aura cendekia dan pengetahuan mendalam tentang segala hal. Ia melangkah maju dengan langkah pasti, tatapan tajamnya seolah-olah mengetahui segalanya.

Ketika ia menghampiri dan bertanya tentang masalah dengan layar yang terhenti, kedua sahabatku rupanya sudah memikirkan cara untuk lari. Seketika, tanpa ajakan, tanpa bisikan apa-apa dan tanpa aba-aba, satu persatu dari mereka perlahan mundur ke bangku belakang, meninggalkanku seorang diri di depan monitor yang menjadi saksi bisu dari perbuatan mereka yang tidak terpuji. 

"Mampus!" ucapku dalam hati. Ini bencana yang tak bisa dihindari.

Sementara dengan waktu yang cukup singkat, Pak Rusdy rupanya telah berhasil memperbaiki masalah teknis dengan layar, sesaat setelah kedua sahabatku berhasil mengambil tempat duduk baru di meja komputer paling belakang. Pesan error yang membeku kemudian menghilang. Kata-kata kotor yang tidak ia sadari sebelumnya, lantas menjadi terbaca dengan gemilang.


Aku, yang tidak punya jalan keluar, yang tak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri, akhirnya dihujam oleh teguran dan terpojok sendirian. Terlebih, memang saat itu aku tidak mengerti cara membela diri, dan mungkin terlalu baik hati. Sehingga secara terpaksa, dengan hati yang berdebar... 

"Maaf, pak" ucapku pelan.

"Iya, saya yang menulis itu."

Pak Rusdy menatapku dengan pandangan tajam, kemudian melanjutkan dengan teguran-teguran yang membuat seluruh teman sekelas memandangiku. Tidak berhenti disitu, dengan tegas, ia kemudian memberikan sebuah hukuman yang terasa sebagai puncaknya. 





Aku diminta untuk berdiri di atas kursi yang ia sodorkan, untuk mengucapkan kata-kata kotor itu dengan lantang di depan 36 orang teman sekelasku.

Bak adegan dramatis drama kolosal yang membangkitkan ketakutan, aku berada di atas kursi seperti yang selayaknya harus menghadapi hukuman mati. Dengan perasaan yang berat, meskipun rasa hina dan malu menguar di dalam diriku, di lubuk hatiku, muncul secuil kebanggaan seperti pahlawan tragis dalam sebuah kisah yang akan dikenang selamanya oleh kedua sahabatku...

Kesiapan dalam menghadapi kematian menyelimuti diriku sepenuhnya.

...aku siap untuk mengatakannya, aku benar-benar siap untuk mati.


"Komtl Mmej Ribut!!"

Ucapanku menggema di ruangan, suaraku gemetarrr.

Berulang kali, aku mengulangi pengakuan berat itu. Setiap pengulangan, adalah beban lebih lanjut yang harus kubebani.

- - -

Setelah semuanya selesai, kedua sahabatku tidak langsung mengambil tempat disisiku. ketika aku merasa kesunyian dan suasana yang begitu tegang menguasai kelas, setelah aku rela mengorbankan diriku sendiri demi melindungi mereka, aku merasa hampa, hanya menanti saat-saat ketika mereka semua yang menyaksikanku akan tahu dibalik peristiwa ini, bukan aku yang melakukannya.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Aku juga mengalami masa-masa belajar di lab komputer ketika masa smp. Kondisi selama di lab memang lebih hening dibandingkan ketika berada di kelas. Terkadang kami juga iseng utak-atik komputer meskipun belum tahu tentang pengaturan-pengaturan yang ada di komputer tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udh setelan pabrik "murid laki-laki" masvay hahhaa. Tetep coba klik sana sini untuk cari sesuatu bahkan ketika guru lagi sibuk nerangin materi 🤣

      Hapus

✍︎ dipersilakan berkomentar sebebas-bebasnya. anggap aja temen deket, tapi jangan minjem duit.